Kamis, 25 April 2013

Dunia di Mata Salaf (bagian 2)

Abu mu’awiyyah Al Aswad berkata: “Semua mahluk –yang baik ataupun yang buruk– berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih kecil dari pada sayap lalat”. Kemudian ada yang bertanya kepadanya: “Apa yang lebih kecil dari sayap lalat itu? Ia menjawab: “Dunia”.
Relakah kita terus-menerus berusaha untuk mengejar kehidupan dunia padahal dunia lebih rendah daripada sayap lalat yang tidak ada bobotnya? Maka tidak sepantasnya kita terhina menjadi budak dunia yang hina, dunia yang lebih rendah dari pada sayap lalat, dunia yang di dalamnya hanya penuh dengan tipu daya.
Seorang salaf berkata: “Seluruh dunia –dari awal sampai akhir– tidak lain hanya seperti orang yang tertidur sejenak, lalu bermimpi melihat sesuatu yang menyenangkan kemudian ia akan terbangun dari tidur yang bermimpikan indah tersebut”.

Sungguh benar penuturan dari pendahulu kita ini, dunia ini seluruhnya ibarat seorang yang tertidur kemudian bermimpi dengan mimpi yang menyenangkan. Nah, kehidupan dunia ini ibarat mimpi yang menyenangkan dari seorang yang tertidir tersebut dan tidak lama kemudian pasti ia akan terbangun dan terputuslah mimpi yang menyenangkan yang tengah dialaminya.
Pernah seorang salaf kita (pendahulu kita) yang sholih mendapatkan kotak besar yang berisikan intan, emas, permata, perhiasan-perhiasan yang tak terhitung banyaknya, hasil ghonimah yang ia temukan pada perang melawan Persia. Ketika ia serahkah kotak tersebut kepada kaum muslimin ada yang berkata kepadanya: “Sudahkah engkau mengambil bagiannya? Lalu apa jawab pendahulu kita yang agung ini, apakah ia mengambil bagian yang banyak dari harta yang ia temukan dengan susah payah mengangkatnya dari dalam tanah? Ia menjawab: “Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kalian semua! Demi Allah, sesungguhnya kotak perhiasan ini dan seluruh harta benda yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tidaklah sebanding dengan kuku hitamku”.
Subhanallah ! Lihatlah, bagaimana tabi’in yang mulia ini menampik harta benda yang ia mempunyai hak dari harta yang ia temukan tersebut, bagaimana takutnya ia terfitnah dengan harta benda? Akan tetapi, sungguh bukan itulah yang ia cari, bukan kehidupan dunia yang menipu ini yang ia inginkan, bukan kemewahan dunia yang ia harapkan, akan tetapi yang ia cari hanyalah, bagaimana mendekatkan diri kepada Allah, bagaimana mendapatkan keridhoan dari-Nya, bagaimana ia terbebas dari kemurkaan-Nya. Lalu siapakah seorang yang sangat mulia ini? Seorang yang sangat takut tertipu kehidupan dunia yang fana? Dialah tabi’in yang mulia, Amir bin Abdillah At-Tamimi, salah seorang dari delapan ahli zuhud kota Bashroh.
Sekarang kita berada di masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, tatkala pasukan-pasukan kaum muslimin menundukkan musuh-musuh islam sehingga agama islam dapat tersebar luas memenuhi penjuru dunia dengan sifat kasih sayangnya. Di antara ghanimah yang didapat kaum muslimin ada sebuah mahkota terbuat dari emas murni bertahtakan intan permata yang beraneka warnanya yang memiliki ukiran yang sangat mengagumkan indahnya. Maka pemimpin kaum muslimin mengacungkannya tinggi-tinggi agar semua manusia dapat melihat keindahan mahkota tersebut. Kemudian ia berkata: “Apakah kalian mengetahui seorang yang tidak mau menerima benda ini? Mereka berkata: “siapa yang menolak benda seperti itu!? Maka panglima tersebut memerintahkan untuk mencari tabi’in mulia, Muhammad bin Waasi’. Ketika beliau ditawari benda yang sangat mengagumkan tersebut beliau menjawab: “Aku tidak membutuhkan benda tersebut, semoga Allah membalas kebaikan anda”. Akan tetapi panglima kaum muslimin telah bersumpah atas nama Allah agar ia mau menerimanya. Dengan berat hati akhirnya beliau menerimanya.
Kemudian Muhammad bin Waasi’ menenteng benda tersebut. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan seorang yang asing, kusut, masai serta compang-camping bajunya meminta-minta. Maka tabiin yang mulia ini menoleh kekanan-kekiri dan kebelakang… setelah yakin tidak ada yang melihat, diberikannya mahkota yang sangat berharga, yang kebanyakan manusia ingin memilikinya tersebut kepada peminta-minta tersebut.
Coba perhatikanlah wahai kaum muslimin! Bagaimana sikap pendahulu kita mendudukkan dunia, bagaimana sikap zuhud mereka terhada harta benda? Mereka tidak membutuhkan benda tersebut karena mereka menganggap dunia hanyalah tempat sementara yang mereka cari hanyalah surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.
Mari kita menuju ke daerah Hijaz, daerah dimana Atha’ bin bin Abi Rabbah tinggal. Sungguh sikap zuhud beliau terhadap dunia patut untuk ditiru. Segala macam rayuan kehidupan dunia, gemerlapnya kemewahan datang kepada beliau dari segala arah akan tetapi belaiu terus berpaling seraya menampiknya dengan serius. Sepanjang hayatnya belaiu hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5 dirham saja harga yang sangat murah ketika itu.
Pernah beliau mengunjungi khalifah kaum muslimin Hisyam bin Abdul Malik. Baju yang dikenakannya hanyalah baju yang telah lusuh, jubah yang telah usang, juga penutup kepala yang telah kusut melekat di atas kepalanya, mengendarai seekor himar yang pelananya terbuat dari kayu murahan, sehingga beliau di tertawakan. Selesai menemui khalifah dan setelah selesai mengutarakan kepentingan-kepentingan kaum muslimin, beliau segera beranjak dari tempat duduknya. Ketika itu, beliau dibuntuti oleh pembantu khalifah yang membawa bejana yang tidak diketahui apa isinya kemudian pembantu tersebut berkata: “Amirul Mukminin menyuruhku untuk memberikan ini kepada anda!” Atha’ pun menjawab: “Tidak!” lalu membaca firman Allah ? :
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan ini, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”. (QS.Asy-Syu’ara: 109)
Demi Allah, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dari sisinya sama sekali tidak minum seteguk air sedikitpun.
Beginilah salaf menikmati kehidupan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar