Abu mu’awiyyah Al Aswad berkata: “Semua mahluk –yang baik ataupun yang buruk–
berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih kecil dari pada sayap lalat”.
Kemudian ada yang bertanya kepadanya: “Apa yang lebih kecil dari sayap lalat
itu? Ia menjawab: “Dunia”.
Relakah kita terus-menerus berusaha untuk mengejar kehidupan dunia padahal
dunia lebih rendah daripada sayap lalat yang tidak ada bobotnya? Maka tidak
sepantasnya kita terhina menjadi budak dunia yang hina, dunia yang lebih rendah
dari pada sayap lalat, dunia yang di dalamnya hanya penuh dengan tipu daya.
Seorang salaf berkata: “Seluruh dunia –dari awal sampai akhir– tidak lain hanya
seperti orang yang tertidur sejenak, lalu bermimpi melihat sesuatu yang
menyenangkan kemudian ia akan terbangun dari tidur yang bermimpikan indah
tersebut”.
Sungguh benar penuturan dari pendahulu kita ini, dunia ini seluruhnya ibarat
seorang yang tertidur kemudian bermimpi dengan mimpi yang menyenangkan. Nah,
kehidupan dunia ini ibarat mimpi yang menyenangkan dari seorang yang tertidir
tersebut dan tidak lama kemudian pasti ia akan terbangun dan terputuslah mimpi
yang menyenangkan yang tengah dialaminya.
Pernah seorang salaf kita (pendahulu kita) yang sholih mendapatkan kotak besar
yang berisikan intan, emas, permata, perhiasan-perhiasan yang tak terhitung
banyaknya, hasil ghonimah yang ia temukan pada perang melawan Persia. Ketika ia
serahkah kotak tersebut kepada kaum muslimin ada yang berkata kepadanya:
“Sudahkah engkau mengambil bagiannya? Lalu apa jawab pendahulu kita yang agung
ini, apakah ia mengambil bagian yang banyak dari harta yang ia temukan dengan
susah payah mengangkatnya dari dalam tanah? Ia menjawab: “Semoga Allah
melimpahkan hidayah-Nya kepada kalian semua! Demi Allah, sesungguhnya kotak
perhiasan ini dan seluruh harta benda yang dimiliki raja-raja Persia bagiku
tidaklah sebanding dengan kuku hitamku”.
Subhanallah ! Lihatlah, bagaimana tabi’in yang mulia ini menampik harta benda
yang ia mempunyai hak dari harta yang ia temukan tersebut, bagaimana takutnya
ia terfitnah dengan harta benda? Akan tetapi, sungguh bukan itulah yang ia
cari, bukan kehidupan dunia yang menipu ini yang ia inginkan, bukan kemewahan
dunia yang ia harapkan, akan tetapi yang ia cari hanyalah, bagaimana
mendekatkan diri kepada Allah, bagaimana mendapatkan keridhoan dari-Nya,
bagaimana ia terbebas dari kemurkaan-Nya. Lalu siapakah seorang yang sangat
mulia ini? Seorang yang sangat takut tertipu kehidupan dunia yang fana? Dialah
tabi’in yang mulia, Amir bin Abdillah At-Tamimi, salah seorang dari delapan
ahli zuhud kota Bashroh.
Sekarang kita berada di masa khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, tatkala
pasukan-pasukan kaum muslimin menundukkan musuh-musuh islam sehingga agama
islam dapat tersebar luas memenuhi penjuru dunia dengan sifat kasih sayangnya.
Di antara ghanimah yang didapat kaum muslimin ada sebuah mahkota terbuat dari
emas murni bertahtakan intan permata yang beraneka warnanya yang memiliki
ukiran yang sangat mengagumkan indahnya. Maka pemimpin kaum muslimin
mengacungkannya tinggi-tinggi agar semua manusia dapat melihat keindahan
mahkota tersebut. Kemudian ia berkata: “Apakah kalian mengetahui seorang yang
tidak mau menerima benda ini? Mereka berkata: “siapa yang menolak benda seperti
itu!? Maka panglima tersebut memerintahkan untuk mencari tabi’in mulia,
Muhammad bin Waasi’. Ketika beliau ditawari benda yang sangat mengagumkan
tersebut beliau menjawab: “Aku tidak membutuhkan benda tersebut, semoga Allah
membalas kebaikan anda”. Akan tetapi panglima kaum muslimin telah bersumpah
atas nama Allah agar ia mau menerimanya. Dengan berat hati akhirnya beliau menerimanya.
Kemudian Muhammad bin Waasi’ menenteng benda tersebut. Di tengah jalan beliau
berjumpa dengan seorang yang asing, kusut, masai serta compang-camping bajunya
meminta-minta. Maka tabiin yang mulia ini menoleh kekanan-kekiri dan
kebelakang… setelah yakin tidak ada yang melihat, diberikannya mahkota yang
sangat berharga, yang kebanyakan manusia ingin memilikinya tersebut kepada
peminta-minta tersebut.
Coba perhatikanlah wahai kaum muslimin! Bagaimana sikap pendahulu kita
mendudukkan dunia, bagaimana sikap zuhud mereka terhada harta benda? Mereka
tidak membutuhkan benda tersebut karena mereka menganggap dunia hanyalah tempat
sementara yang mereka cari hanyalah surga yang mengalir sungai-sungai di
bawahnya.
Mari kita menuju ke daerah Hijaz, daerah dimana Atha’ bin bin Abi Rabbah
tinggal. Sungguh sikap zuhud beliau terhadap dunia patut untuk ditiru. Segala
macam rayuan kehidupan dunia, gemerlapnya kemewahan datang kepada beliau dari
segala arah akan tetapi belaiu terus berpaling seraya menampiknya dengan
serius. Sepanjang hayatnya belaiu hanya mengenakan baju yang harganya tidak
lebih dari 5 dirham saja harga yang sangat murah ketika itu.
Pernah beliau mengunjungi khalifah kaum muslimin Hisyam bin Abdul Malik. Baju
yang dikenakannya hanyalah baju yang telah lusuh, jubah yang telah usang, juga
penutup kepala yang telah kusut melekat di atas kepalanya, mengendarai seekor
himar yang pelananya terbuat dari kayu murahan, sehingga beliau di tertawakan.
Selesai menemui khalifah dan setelah selesai mengutarakan kepentingan-kepentingan
kaum muslimin, beliau segera beranjak dari tempat duduknya. Ketika itu, beliau
dibuntuti oleh pembantu khalifah yang membawa bejana yang tidak diketahui apa
isinya kemudian pembantu tersebut berkata: “Amirul Mukminin menyuruhku untuk memberikan
ini kepada anda!” Atha’ pun menjawab: “Tidak!” lalu membaca firman Allah ? :
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan ini, upahku
tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”. (QS.Asy-Syu’ara: 109)
Demi Allah, beliau masuk ke istana khalifah dan keluar dari sisinya sama sekali
tidak minum seteguk air sedikitpun.
Beginilah salaf menikmati kehidupan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar